Minggu, 12 Mei 2013

Peranan Musik dalam Liturgi



 BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Gereja adalah representatif kerajaan Allah di dalam dunia.[1]  Oleh karena itu, gereja mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugasnya sebagai wakil Kerajaan Allah. Secara umum, tugas dan kewajiban gereja adalah melayani Tuhan dan sesama.[2] Pelayanan terhadap Tuhan dan sesama kemudian diimplementasikan ke dalam berbagai aspek kehidupan. Implementasi tersebut dapat diklasifikasikan secara spesifik, antara lain: “Liturgia, Diakonia, Koinonia, Kerygma, dan Marturia”.[3]  Tugas dan kewajiban tersebut dapat disebut sebagai tujuan gereja sebagai wakil Kerajaan Allah. Gereja yang sehat adalah gereja yang mampu menjalankan tugasnya dengan benar.
Kompleksitas gereja dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia semakin terlihat dengan terpecahnya kesatuan organisasi menjadi denominasi-denominasi tertentu dengan organisasi-organisasi tersendiri.[4]  Secara simultan gereja melakukan tugasnya sebagai simbol atau wakil kerajaan Allah di dunia dan juga menjalankan tuntutan-tuntutan denominasi sebagai bagian dari kompetisi antar denominasi. Kompetisi tersebut menjadi bagian perjalanan gereja menuju kepada keutuhan dalam Yesus Kristus.
Ada berbagai persoalan yang muncul ketika gereja dipahami sebagai organisasi atau denominasi. Persaingan antar denominasi menjadi ajang perpecahan dan pertarungan gereja yang semakin memprihatinkan. Perpecahan tersebut tidak hanya terjadi antar denominasi, tetapi di dalam gereja (satu denominasi) sendiri. Orang-orang percaya di dalam satu organisasi gereja terkungkung dengan kepentingan pribadi, sehingga memperburuk kesatuan gereja yang telah lama tercabik-cabik. Perpecahan antar anggota gereja banyak berakhir dengan munculnya denominasi gereja yang baru. Hal tersebut menjadi fakta mengenai kesatuan gereja yang telah lama terlupakan. Masing-masing denominasi memandang diri sebagai yang paling benar. Perpecahan tersebut semakin kompleks ditambah dengan perbedaan doktrin antar denominasi. Perbedaan doktrin tersebut merupakan salah satu dari penyebab perpecahan yang terjadi di dalam kesatuan gereja secara universal.
Melihat gereja sebagai sebuah kesatuan di dalam Kristus, maka perpecahan tersebut seharusnya tidak mempengaruhi tugas dan kewajiban gereja di dalam dunia. Gereja harus tetap mampu melakukan pelayanan berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Secara khusus di dalam denominasi, setiap orang percaya harus tetap saling melayani menuju kepada pertumbuhan iman yang sejati di dalam Kristus. Pelayanan tersebut tentu berhubungan erat dengan relasi yang terjalin di dalam gereja. Relasi tersebut mengarah kepada bentuk-bentuk peribadatan yang dilakukan di dalam gereja. Bentuk-bentuk yang dimaksud adalah mengenai tata cara ibadah yang dilakukan di dalam gereja tersebut. Dengan kata lain, pelayanan yang dilakukan tersebut berhubungan erat dengan liturgi yang dilakukan di dalam gereja tersebut.


 RUMUSAN MASALAH
Liturgi atau tata cara ibadah[5] tidak dapat dipisahkan dari peribadatan yang dilakukan di dalam gereja. Setiap denominasi memiliki liturgi yang berbeda dalam ibadah. Namun secara umum peribadatan tersebut memiliki unsur-unsur yang sama, misalnya votum/pendahuluan, pembacaan firman, nyanyian jemaat. Salah satu hal yang penting di dalam pelaksanaan liturgi adalah mengenai musik.
Secara umum gereja telah menerima musik menjadi bagian penting dalam ibadah. Meskipun demikian, musik yang diterima di dalam gereja sangat ditentukan oleh bentuk organisasi (denominasi) dan juga oleh keterbukaan gereja terhadap perkembangan musik dalam kebudayaan manusia. Hal tersebut memunculkan perdebatan baru mengenai bentuk musik yang dapat atau tidak dapat diterima dalam gereja. Budayawan dan Pastor Y.B. Mangunwijaya (alm.) dalam seminar musik gerejawi di Palangkaraya, Kalimantan, Juni 1983, mempertanyakan apakah nyanyian religius Kristen harus anggun tradisional dan terkesan lamban sekali, ataukah dapat berbentuk hard rock, atau ekstremnya boleh berirama dangdut misalnya?[6]
Pertanyaan mengenai jenis musik apakah yang dapat diterima di dalam gereja? Telah menjadi pertanyaan yang digemakan sepanjang pergumulan gereja  dalam menghadapi akselerasi perkembangan musik. Beberapa gereja menganggap bahwa tidak semua jenis musik dapat digunakan di dalam liturgi. Handol menyatakan,  “musik yang digunakan dalam keagamaan harus meningkatkan meditasi dan pemikiran rohani. Alunannya harus indah dan menarik, tetapi tidak sentimentil. Melodi dan harmoninya harus kuat, efektif, memuaskan tetapi tidak manis atau lemah”.[7] Pernyataan Handol memberikan keterangan mengenai jenis musik yang secara umum dapat diterima dalam liturgi yang dilaksanakan oleh gereja.
Sampai pada zaman postmodern (sekarang), tidak semua jenis musik dapat diterima di dalam liturgi. Salah satu jenis musik yang belum dapat diterima adalah musik yang berirama keras. Mengutip pernyataan Handol mengenai musik keras, menurutnya musik yang berirama keras merupakan musik yang berorientasi pada pukulan beat, petikan khas gitar listrik dengan suara besi terkikis dan irama vocal yang berteriak-teriak (menjerit). Musik keras berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu rock yang berarti mengayunkan (keras sampai membahayakan sesuatu) secara resmi dikenal pada awal tahun 60-an. Sejak itu musik tersebut berkembang menjadi beberapa cabang musik baru seperti: Jazz-rock, rock’n roll, hard rock, pop rock, heavy metal, dll.[8]
Di lain sisi, ada yang beranggapan bahwa gereja seharusnya menerima dan menggunakan kemajuan zaman, termasuk perkembangan teknologi dan secara khusus adalah mengenai perkembangan dunia musik yang semakin hari semakin meningkat. Perkembangan musik tersebut harus dimanifestasikan di dalam liturgi gereja. Dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berpandangan demikian menginginkan gereja dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan musik.  Keinginan tersebut selaras dengan pemahaman bahwa musik adalah elemen yang sangat penting di dalam ibadah.  Kontradiksi[9] antara pandangan yang menolak jenis musik tertentu dengan yang menerima musik dan perkembangannya di dalam liturgi merupakan permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam paper ini.

HIPOTESIS
Musik adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Hal tersebut menjadikan musik sebagai suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk kehidupan ibadah gereja. Dapat dikatakan bahwa musik adalah hal yang sangat penting di dalam gereja. O’Regan menyatakan bahwa : “In most denominations, music was recognized as powerful or somewhat dangerous weapon, able to attract and sway men’s souls, and thus subject to sometimes considerable ecclesiastical control.”[10]  Musik adalah penunjang kehidupan penyembahan dan pujian di dalam gereja. Musik memberikan pengaruh terhadap pujian dan penyembahan yang dilakukan di dalam gereja. Salah satu ayat[11] Alkitab yang dapat menjadi acuan terhadap pentingnya musik di dalam kehidupan gerejawi adalah ”Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.” (Kolose 3 : 16)
Persekutuan adalah hal mutlak yang harus dikerjakan oleh umat Tuhan yang tergabung di dalam suatu lembaga yaitu gereja. Persekutuan yang dilakukan mengandung unsur-unsur penting, sebagai contoh “saling membangun, menegur, mengajar satu dengan yang lain”[12] Semua hal itu, menurut Kolose 3:16 dilakukan sambil (dalam keadaan) menyanyikan mazmur dan puji-pujian dan nyanyian rohani. Hal tersebut mengimplikasikan pentingnya nyanyian (yang mengandung unsur musik) di dalam kehidupan persekutuan orang percaya. Oleh karena itu, penulis memiliki hipotesis bahwa musik memiliki peranan yang penting dalam pelayanan gereja, secara khusus musik dalam liturgi gereja.

PEMBATASAN MASALAH
Dalam paper ini, penulis akan memfokuskan pembahasan terhadap pelayanan musik di dalam peribadatan gereja. Pelayanan musik yang akan dijadikan pembahasan utama adalah mengenai pentingnya musik terhadap kehidupan pelayanan dalam liturgi gereja. Selain itu penulis akan membahas sekilas mengenai sejarah perkembangan musik di dalam liturgi gereja. Dalam hal ini penulis tidak memiliki pemahaman bahwa musik merupakan bagian keseluruhan di dalam liturgi, melainkan musik merupakan bagian yang penting[13] dari liturgi ibadah gereja. Pembahasan yang akan dilakukan oleh penulis akan terfokus kepada hal-hal tersebut di atas.



BAB 2
MUSIK DALAM PERIBADATAN[14] GEREJA

            Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai perkembangan musik dalam gereja dan persepsi- persepsi terhadap musik, secara khusus dalam ibadah-ibadah gereja. Pujian dan nyanyian jemaat menjadi bagian penting dalam liturgi gereja. Salah satu unsur penting di dalam nyanyian atau pujian adalah musik. Berikut ini pembahasan penulis akan berkonsentrasi pada salah satu unsur penting tersebut.

PENGERTIAN MUSIK
Musik umumnya dapat ditemukan di sepanjang peradaban manusia. Musik adalah pemberian Tuhan yang sangat indah. Pemberian tersebut tidak hanya diterima oleh orang percaya, melainkan juga dapat diterima bahkan dikembangkan oleh orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Perkembangan musik di dalam gereja dan di luar gereja memiliki perbedaan yang sangat jauh. Di luar gereja, musik dapat berkembang dengan pesat karena tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan Gereja.
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia (ensiklopedia bebas), musik diartikan sebagai :
bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi sejati tentang musik juga bermacam-macam:
a. Bunyi/kesan terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indera pendengar
b.Suatu karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya.
c. Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai musik.[15]       
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa musik adalah bentuk bunyi yang ditangkap oleh manusia lewat pendengaran. Penerimaan terhadap bentuk bunyi yang dihasilkan dengan sengaja tersebut memiliki perbedaan. Perbedaan penerimaan itu disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perbedaan sejarah, perbedaan lokasi, dan perbedaan kebudayaan. Musik juga dapat dikategorikan sebagai bentuk seni yang diperkenalkan melalui medium suara. Unsur-unsur umum dalam musik adalah pitch (yang mengatur melodi dan harmoni), irama (dan terkait konsep tempo, meter, dan artikulasi), dinamika, dan kualitas sonik dari timbre dan tekstur. Kata musik berasal dari bahasa Yunani μουσική (mousike), "(seni) dari Muses."[16]
Musik juga memberikan pengaruh terhadap sikap dan tindakan manusia. Salomon Keal menyatakan : Music is something which can help to inspire the affections that help those 'feathers' of truth stick to the 'wall' of our mind.[17] Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Richard C. Leonard dalam artikelnya Music and Worship in the Bible, ia menyatakan:
Music has a powerful effect on human experience. Students of religious phenomena have long recognized that music transcends our understanding and appeals to our intuitive nature. It is not surprising, then, that music played an important part in the worship of biblical communities, as a way of approaching the mystery of God and of expressing the joy of his presence.[18]

            Keal dan Leonard menyadari kekuatan musik dalam pengalaman manusia. Leonard dalam pernyataannya di atas, mengungkapkan bahwa musik merupakan bagian penting yang dipakai dalam pujian oleh komunitas orang percaya (Biblical= percaya kepada Firman Tuhan). Musik digunakan sebagai cara untuk memahami (menemukan) misteri Ilahi dan musik dapat dikategorikan sebagai ungkapan sukacita atas perjumpaan dengan Tuhan di dalam pujian (ibadah). Pernyataan di atas tidak mengindikasikan bahwa penulis menyetujui musik sebagai satu-satunya ungkapan sukacita terhadap perjumpaan dengan Tuhan, tetapi yang penulis maksudkan adalah ekspresi melalui musik adalah salah satu bentuk ungkapan sukacita atas perjumpaan dengan Tuhan dalam ibadah.
Sepanjang sejarah perjalanan gereja dapat dijumpai penggunaan musik yang cukup signifikan dalam liturgi. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ada masa ketika gereja Katolik Roma menghindari penggunaan musik di dalam liturgi gereja. Berikut ini penulis akan membahas mengenai sejarah perkembangan musik dalam gereja.

PERKEMBANGAN MUSIK DALAM GEREJA
Perkembangan musik dalam gereja (liturgi) sangat labil. Ada masa ketika gereja memberikan kesempatan penuh kepada para komposer-komposer terkenal[19] untuk mengembangkan musik dalam gereja. Para komposer tersebut kemudian menggubah banyak hymne atau nyanyian dari Alkitab, secara khusus kitab Mazmur. Namun, ada masa ketika gereja tidak lagi mengijinkan musik untuk dikembangkan di dalam gereja. Penulis akan membahas sekilas mengenai sejarah perkembangan musik dalam gereja. Selanjutnya perkembangan musik dalam gereja akan disebut sebagai sejarah musik gerejawi, karena fokus pembahasan penulis adalah perkembangan musik yang terjadi di dalam gereja.

Sejarah Musik Gerejawi
Pada mulanya dalam gereja hanya lagu-lagu Mazmur yang dinyanyikan, akan tetapi kemudian hal itu berkembang menjadi sebuah buku nyanyian.  Smith dan Carlson menyatakan, menyanyikan Mazmur adalah aktifitas musik dari gereja yang paling awal dicatat, mungkin itu adalah respon rasul Paulus agar “penuh dengan roh dan berkata-kata seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani” (Efesus 5:19).[20] Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dinyanyikan dalam jemaat atau gereja adalah nyanyian yang terdapat dalam kitab Mazmur? Nyanyian yang dilagukan di dalam gereja memang tidak semua berasal dari kitab Mazmur. Akan tetapi mayoritas lagu jemaat diciptakan berdasarkan inspirasi kitab Mazmur.
Melihat sejarah perkembangan musik dalam gereja, Smith dan Carlson menyatakan,
Menelusuri perkembangan musik, dimulai dari Ambrose uskup dari Milan (339-397). Ia memperkenalkan nyanyian antiforal  dan hymne pada dunia barat.  Ambrocian Chant  masih dinyanyikan di Milan hingga sekarang. Kemudian Augustinus (354-430),menurut tradisi, ia bersama dengan Ambrose menciptakan improvisasi lagu “Te Deum Laudamus” (We Praise Thee, o Lord).[21]

Pernyataan Smith dan Carlson bukan berupakan sebuah klaim bahwa musik gerejawi dimulai pada zaman Ambrose dan Augustinus. Musik gerejawi berkembang jauh sebelum diperkenalkannya nyanyian-nyanyian hasil improvisasi mereka. Edy Siahaan dan R. Tambun dalam buku “Musik Gereja” memberikan keterangan yang lebih spesifik mengenai perkembangan musik gerejawi. Mereka menerangkan sejarah perkembangan nyanyian mulai dari abad pertama sampai sesudah reformasi. Edy dan R. Tambun menyatakan,
(1). Pada abad pertama, Ignatius (+ 115) memulihkan pemakaian responsoria antara pelayan dan jemaat dan atau antara anggota-anggota paduan suara. Sylvester (325) mendirikan sekolah penyanyi (Scholoe Contorum) gerejawi pertama di Roma. Selanjutnya hymnus terus berkembang di sebelah timur, dan dari sana dibawa masuk oleh Hilarius dari Poitiers ke sebelah barat. Hymnus tersebut dikenal di sana dengan Hymnodia/hymnus Ambrosius. Ia sangat berjasa dalam bidang hymnus karena banyak memasukkannya dalam ibadah. Ia juga mengintensifkan pemakaian antifon dan responsoria. (2). Abad Pertengahan, Paus Gregorius I (+ 600) memasukkan cara menyanyi Gregorian ke dalam ibadah jemaat. Setelah itu kaisar Karel Agung sangat berjasa dalam usaha memajukan nyanyian jemaat. Ia mendirikan sekolah musik (Scholoe Contorum) di seluruh kekaisarannya. (3). Abad sebelum reformasi, nyanyian jemaat tidak lagi dinyanyikan secara langsung oleh jemaat sendiri, melainkan diserahkan kepada paduan suara yang anggota-anggotanya adalah para imam. (4). Pada masa reformasi, Dr. Martin Luther dan Johannes Calvin membersihkan nyanyian jemaan dari pengaruh Katolik Roma. Nyanyian sepenuhnya diserahkan kepada jemaat untuk dinyanyikan. Luther sendiri banyak menggubah nyanyian jemaat (sebagian besar masih dipakai di gereja-gereja Indonesia sampai sekarang). (5). Sesudah reformasi, tema-tema nyanyian mulai diperhatikan. Banyak nyanyian-nyanyian yang akhirnya disusun mengandung unsur kerygma (berita). [22]
            Sejak abad pertama hingga abad pertengahan (zaman reformasi gereja[23]), musik gerejawi telah mengalami perkembangan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari perkembangan nyanyian jemaat dalam gereja. Sekolah-sekolah musik gereja didirikan dan berkembang menghasilkan generasi penerus musik/ nyanyian dalam gereja. Leonard menuliskan lebih jauh ke belakang mengenai sejarah perkembangan musik yang terdapat di dalam peribadatan orang Israel. Ia menyatakan,    
            Israelite prophets were musicians. During the exodus Miriam the prophetess, taking her tambourine, led the women in song and dance, celebrating the Lord's triumph over the Egyptians (Exod. 15:20-21). Saul encountered a band of sanctuary prophets who prophesied accompanied by instruments (1 Sam. 10:5). Isaiah composed songs, including one celebrating the Lord's deliverance of those who trust in him (Isa. 26:1-6). The public regarded Ezekiel as "one who has a beautiful voice and plays well on an instrument" (33:32).
David, a musician as well as a warrior, established the place of music in the worship of the Lord. Even before the sacrifices had been moved to Jerusalem, he instructed the Levitical musicians to celebrate the ark's journey to Zion (1 Chron. 15:16-24), and appointed Asaph as chief musician in charge of continual thanksgiving and praise (1 Chron. 16:1-7). The description of this activity (1 Chron. 25:1-7) suggests that these musicians led in a spontaneous and overwhelming outpouring of worship, especially at high moments like the dedication of Solomon's temple (2 Chron 5:11-14). This may be the "new song" to which the Psalms refer (33:3, 40:3, 96:1, 144:9, 149:1). Many Psalms perhaps originated in this pre-temple Davidic worship centering around the ark of the covenant.
In the temple, music functioned as a "sacrifice of praise," an offering of song to accompany the offering of sacrifice. Under the Judean rulers, the performance of music became regulated and standardized. The titles of 55 Psalms refer to the music director, with instructions for performance on various instruments or using certain tunes. This psalmody remained a feature of Israelite and Jewish worship. After the exile, Ezra recruited more than 200 Levites for service in the sanctuary (Ezra 8:18-20). First-century Jewish sources indicate that the choir of Herod's temple consisted of at least twelve adult male singers, with no upper limit. Singers served between the ages of thirty and fifty, after a five-year training period. The sources also describe the instruments in use at that time.
After the Babylonian exile, most Jews lived in the Dispersion (areas outside of Palestine) and could not participate in temple worship. Therefore the synagogue arose for prayer and the study of the Scriptures. The Psalms continued to be sung, and other portions of the Scriptures as well as prayers were chanted according to a developing system of "modes." Such Jewish music influenced the worship of the early church.
Israelite worship music was both vocal and instrumental; the sanctuary orchestra contributed to the celebration of Israel's covenant with the Lord. Its instruments fall into the same general classes with which we are familiar — percussion, winds (pipes) and strings. Horns, trumpets, cymbals, harps and lyres were used when the ark was brought to Mount Zion, and their continued use is reflected in their mention in the Psalms. The sanctuary instruments were not solo instruments, but sounded simultaneously to call the assembly to worship (Psa. 98:6). Strings and pipes, if used, probably played the modalities (tune elements) in the psalm being sung, with perhaps distinctive patterns of ornamentation. Horns, trumpets and cymbals added to the festive joy by creating a larger sound. The selah of the Psalms may have been an instrumental interlude, or a "lifting up" of sound by both singers and instrumentalists. Tambourines, usually played by women, are mentioned in connection with dancing at Israelite festivals (Psa. 68:25), but were not used in the sanctuary where only men served as priests and musicians.
What did the music of Israel's worship sound like? While we cannot know today exactly how it sounded, recent research has confirmed the similarity between Hebraic music and ancient forms of Christian chant. Biblical music incorporated several characteristic features:
a.       Monophony, the use of an unharmonized melodic line — although ornamentation and instrumental accompaniment could create a primitive form of harmony.
b.      Modality refers to the use of various musical motifs within a certain scale, each with its own function.
c.       Ornamentation, the use of enhancements suited to the skill of the performer.
d.      Rhythm — Semitic music does not use the regular beat of modern Western music but has a more complex pattern of time structuring.
e.       Scale — Semitic music follows a generally diatonic melody, but with some use of quarter-tone intervals as well as whole or half tones.
f.       Improvisation, the practice of composing the music in the process of performing it using skills acquired through a long period of training.
g.       Antiphony — In antiphonal music, groups of performers answer one another in statement and response. Examples in biblical worship may be found in the Psalms (Pss. 24, 118) and the "Holy, holy, holy" of Isaiah's seraphim (Isa. 6:3), in a vision no doubt influenced in its expression by the chanting of priestly choirs. This last feature suggests that the congregation, as well as trained musicians, may have been involved in the musical responses of the service. [24]

Para  nabi atau nabiah Israel merupakan musisi. Sebagai contoh ketika bangsa Israel berhasil lepas dari cengkraman bangsa Mesir, Miriam kemudian menyanyikan lagu kemenangan dengan memakai alat musik tambourine (Kel. 15:20-2). Raja Daud adalah seorang musisi sekaligus seorang pahlawan. Pemakaian alat musik sangat dominan dalam ibadah yang dilakukan di Israel. Secara khusus ketika mereka mengalami suatu kemanangan dari sebuah pertempuran, mengalami kebebasan dari malapetaka, bersukacita atas pertolongan Tuhan. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi inspirasi terhadap penulis Mazmur untuk menuliskan nyanyian-nyanyian kepada Tuhan.
            Kitab Mazmur menjadi inspirasi utama dalam berkembangnya musik gerejawi. Smith dan Carlson menyebutnya sebagai satu-satunya sumber yang paling produktif untuk teks bagi komponis musik di dunia barat.[25] Beberapa komponis besar yang mendasarkan karya besarnya pada teks Mazmur menurut Smith dan Carlson antara lain :
(1). Heinrich Schutz (1583-1672), komponis terbesar Jerman pada abad ke-17. Salah satu tokoh yang terpenting di zaman Barok, zaman yang mencapai puncaknya dengan karya terkenal Bach dan Handel. Schutz menulis musik dengan menempatkan Mazmur dalam karya-karyanya. (2). Johan Sebastian Bach (1685-1750) dianggap sebagai komponis terbesar sepanjang masa oleh banyak orang Kristen dan para kritikus sekuler. Ia mengabdikan hidupnya melayani Allah melalui musik. Cantata 131 merupakan gubahan dari Mazmur 130 sebagai gambaran penyesalan yang mengharukan. (3). Frans Joseph Haydn (1732-1809) menulis karya besarnya “The Creation” setelah diilhami Messiah karya Handel. Salah satu puncak dalam karyanya adalah “The Heaven Are Telling” yang diambil dari Mazmur 19. (4) Wolfrgarg Amadeus Mozart (1756-1791) membuat aransemen menakjubkan dari Mazmur terpendek (Mazmur 117). (5). Komponis Yahudi Kristen pada zaman Romantik awal, Felix Madellshon (1809-1847) menggubah banyak Mazmur untuk musik. Salah satunya adalah “Lift Thine Eyes to The Mountains” dari Mazmur 121.[26]

            Mazmur tidak hanya menginspirasi Bapa-bapa gereja untuk menciptakan hymne, tetapi juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap karya-karya musik klasik yang terkenal hingga sekarang. Karya komposer terbesar seperti Bach, Mozart dan Haydn sebagian besar merupakan gubahan dari kitab Mazmur.
Beberapa pernyataan di atas merepresentatifkan sejarah perkembangan musik dalam gereja. Kitab suci merupakan inspirasi utama bagi komposer-komposer besar dan bapa-bapa gereja untuk menggubah musik gereja. Berikut akan dibahas mengenai esensi musik dalam ibadah.

ESENSI MUSIK DALAM IBADAH
            Musik memiliki peranan yang penting dalam ibadah. Ini merupakan pernyataan yang telah diulang oleh penulis dalam paper ini. Penulis ingin menekankan bahwa ibadah dan musik memiliki keterikatan yang tidak dapat dipungkiri.
            Keterikatan tersebut seharusnya tidak ditafsirkan secara ekstrim. Musik memang bermanfaat dan penting dalam ibadah, akan tetapi musik tidak dapat dijadikan “berhala” dalam ibadah. Istilah “berhala” digunakan penulis untuk menyatakan “beberapa orang tidak dapat beribadah dan menyanyikan pujian kepada Tuhan tanpa musik”. Ini adalah pandangan yang keliru. Menganggap musik sebagai penunjang utama dalam ibadah adalah pandangan yang sangat keliru. Ibadah seharusnya dapat tetap berlangsung dengan hikmat sekalipun tanpa musik.
            Pernyataan “ibadah seharusnya dapat berlangsung dengan hikmat sekalipun tanpa musik” bukan pernyataan yang mengingkari pentingnya musik dalam ibadah. Pernyataan tersebut merupakan “perlawanan” terhadap paradigma yang menganggap bahwa tanpa musik ibadah tidak dapat berlangsung dengan baik. Pandangan penulis sangat bertentangan dengan paradigma tersebut.
            Dalam ibadah seharusnya musik hanya merupakan “instrumen”. Instrumen yang dimaksud penulis adalah “alat”. Musik adalah alat atau sarana yang Tuhan anugerahkan bagi manusia untuk menyembah-Nya. Dengan demikian esensi musik dalam ibadah adalah “sarana” bukan “segalanya”. Pernyataan ini tidak dapat ditafsirkan menjadi “musik tidak penting dalam ibadah”. Musik sangat penting dalam ibadah, tetapi hanya sebagai sarana.
PERSEPSI GEREJA TERHADAP MUSIK
            Gereja (atau orang percaya yang berada dalam gereja) dalam sepanjang perjalanan sejarah, memiliki persepsi terhadap musik. Persepsi tersebut berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dalam bagian ini penulis akan membagi dua pandangan tersebut menjadi dua bagian yaitu pandangan yang menerima perkembangan musik dan pandangan yang menolak jenis musik tertentu dalam ibadah atau liturgi.

 Menerima Perkembangan Musik
            Pandangan ini dianut oleh orang-orang yang sangat terbuka terhadap perkembangan musik. Mereka menggunakan berbagai jenis instrumen (jenis alat-alat musik) dalam gereja. Mereka sangat terbuka terhadap perkembangan musik yang sangat pesat. Hal ini memang tidak salah karena dalam Perjanjian Lama, ada banyak instrumen yang digunakan dalam Bait Allah. Steve Miller menuliskan beberapa alat musik yang digunakan dalam ibadah, antara lain: Harps (Rev. 5:8), stringed instruments (Hab. 3:19), horns, trumpets, loud-sounding cymbals, lyres[27] (1 Chron. 15:28,29), timbels, taumborines (Exod. 15:20), dll.[28]
            Menerima perkembangan musik bukanlah hal yan keliru. Akan tetapi yang salah adalah ketika penerimaan itu sangat berlebihan. Penulis dalam hal ini tidak setuju dengan pandangan yang sangat ekstrim dalam penerimaan terhadap perkembagan musik. Oleh karena itu penulis menyatakan bahwa musik dalam liturgi seharusnya tetap berpegang pada prinsip “Scriptura”.  Semua penerimaan itu haruslah didasarkan pada kebenarang firman Tuhan. Alkitab memang tidak mengatur mengenai jenis musik atau instrumen yang digunakan dalam ibadah, akan tetapi penerimaan tersebut seharusnya melihat kebenaran Alkitabiah.
 Menolak Jenis Musik Tertentu dalam Liturgi
            Beberapa orang melakukan penolakan terhadap jenis musik terntentu. Jenis musik yang sering ditolak dalam gereja adalah jenis musik yang “beraliran” keras, seperti musik Rock, Heavy-metal. Mereka berpandangan bahwa musik ini adalah musik setan.  John Handol ML dalam bukunya Nyanyian Lucifer menyatakan hal yang demikian. Ia kemudian memberikan argumentasi bahwa musik-musik keras adalah sarana yang digunakan oleh iblis untuk menjauhkan manusia dari hadirat Allah.
            Dalam buku Nyanyian Lucifer, Handol juga melanjutkan argumentasinya bahwa musik sangat mempengaruhi kejiwaan manusia. Penulis setuju dengan pandangan tersebut. Akn tetapi penulis tidak sepaham dengan pandangan Handol yang menyatakan bahwa musik keras merupakan musik setan. Sebagai orang percaya seharusnya menyadari bahwa semua hal yang terjadi dalam dunia berada di bawah kontrol Tuhan. Kontrol dalam hal ini tidak berarti dunia adalah “robot” yang dikendalikan sepenuhnya oleh Tuhan.
            Penulis tidak menentang gereja yang menolak jenis musik tertentu. Namun, penulis tidak setuju dengan gereja yang memberikan “punishment” terhadap jenis musik tertentu. Mereka menyatakan bahwa musik keras adalah musik “setan”. Jika musik tersebut dapat digunakan oleh Iblis sebagai sarana untuk mempengaruhi anak muda menjadi “brutal”, maka musik tersebut juga dapat digunakan untuk memuji Tuhan. Pernyataan ini sangat rasional, jika sesuatu dapat digunakan Iblis, maka hal tersebut juga dapat digunakan oleh Tuhan. Bukan berarti bahwa musik keras itu tidak dapat digunakan untuk memuji Tuhan.
            Gereja harus terbuka terhadap perkembangan musik. Ini adalah pandangan penulis. Sekali lagi penulis menyatakan bahwa penerimaan tersebut memang harus selalu ditinjau dari sudut pandang Alkitab. Pemakaian musik juga seharusnya proporsional dalam gereja. Dengan demikian penolakan terhadap jenis musik tertentu harus didasarkan pada Alkitab. Selain itu penerimaan itu harus didasarkan pada “konsensus” atau kesepakatan bersama dalam gereja.

           
Bab 3
KESIMPULAN
            Berdasarkan pembahasan dalam dua bab di atas, maka penulis memiliki kesimpulan sebagai berikut:
Musik adalah Karunia Tuhan
            Musik adalah karunia Tuhan, oleh karena itu tidak ada musik yang dapat dikategorikan sebagai musik “setan”. Semua karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia adalah baik adanya. Oleh karena itu bukan musik tersebut yang seharusnya disalahkan, akan tetapi musik tersebut yang sering disalahgunakan. Jadi pengguna musiklah yang salah, bukan jenis musiknya.
Musik sebagai Sarana
            Liturgi disusun untuk memberikan jalur dalam ibadah. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa dalam liturgi musik hanya sebagai sarana, bukan penentu ibadah. Ada atau tidak adanya musik dalam ibadah seharusnya tidak mempengaruhi ibadah. Dalam hal ini penulis menyatakan bahwa sekalipun tidak ada musik dalam ibadah, maka ibadah tersebut harus tetap berjalan dengan baik. Ibadah harus tetap pada tujuan utama yaitu memuliakan Tuhan. Ibadah yang bertujuan untuk melakukan perjumpaan dan hubungan dengan Tuhan.
            Musik sebagai sarana seharusnya dipahami memiliki peranan yang tidak dapat dianggap sepele dalam Ibadah. Musik memberikan nuansa yang berbeda dalam ibadah. Oleh karena itu musik penting akan tetapi harus dipahami bahwa musik bukan segalanya, musik hanyalah sarana untuk memuji Tuhan.




DAFTAR PUSTAKA

Handol, John ML, Nyanyian Lucifer.Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002
Miller, Steve, The Contemporary Christian Music Debate. Illionis: Tyndale House Publishers, Inc., 1993.
O’Regan “The Church Triumphant: Music In The Liturgy” Tim Carter dan John Butt (ed.), The Cambridge History of Seventeenth Century Music. New York : Cambridge University Press, 2005
Siahaan, Edy DH. & R. Tambun, Musik Gereja. Medan: MITRA, 2006.
Smith,  Jane Stuart dan Betty Carlson, Karunia Musik. Surabaya: Momentum, 2003
Rachman, Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi. Jakarta: Gunung Mulia, 2010
White, James F., Pengantar Ibadah Kristen, terj. Liem Siem Kie dari judul asli Introduction to Christian Worship, cet. 2. Jakarta: Gunung Mulia, 2005.
Sumber-sumber lain:
Kamus Besar Bahasa Indonesia v. 1.3 [versi elektronik].
Materi Kuliah Dogmatika 4 STTSP,  mengenai Tujuan Gereja, Jumat, 12 Agustus 2011
Keal, Salomon,  “The Role of Music In Worship” 27 Desember 2010. [web page on-line] tersedia di http://theologikeal.blogspot.com/2010/12/role-of-music-in-worship.htm
Leonard, Richard C., “Music and Worship in The Bible”, [web page on-line] tersedia di http://www.laudemont.org/a-mawitb.htm.
Nasrani, Ester Gunawan, “Peran Musik dalam Gereja”, [web page on-line] tersedia di http://www.gpdiworld.us/peran-musik-dalam-gereja, diakses 23 September 2011.
Purwosito, Willy M.A, “Persoalan pro dan Kontra Nyanyian Lama dan Nyanyian Baru. Majalah BERKAT Tahun XV / Nomor 58, edisi Januari-Maret 2003. Surabaya: Yayasan Penerbit BERKAT



[1] Dalam hal tersebut penulis menyoroti kapasitas gereja yang universal, yaitu orang-orang percaya yang berada dalam sebuah lingkup kesatuan dengan tidak membedakan denominasi yang ada di dalam dunia.
[2] Sesama adalah orang-orang yang telah menjadi anggota gereja dan juga orang-orang yang belum percaya kepada Tuhan. Namun, dalam pengertian sesama tersebut, penulis lebih fokus kepada orang-orang yang telah percaya kepada Tuhan Yesus sekaligus telah menjadi anggota gereja di denominasi tertentu.
[3] Liturgia, melayani Tuhan melalui liturgi atau tata cara yang telah ditetapkan oleh gereja berdasarkan denominasi. Diakonia, pelayanan gereja terhadap sesama orang percaya dengan tujuan untuk bertumbuh sesuai dengan kepenuhan Kristus dan menjadi dewasa di dalam Tuhan. Koinonia, pelayanan di dalam perskutuan untuk saling mendorong dalam kasih dan perbuatan baik. Kerygma,  pelayanan dalam bentuk pengajaran firman Tuhan. Marturia, pelayanan gereja terhadap sesama manusia yaitu orang-orang yang belum percaya melalui kesaksian. (Materi Kuliah Dogmatika 4 STTSP,  mengenai Tujuan Gereja, Jumat, 12 Agustus 2011).
[4] Gereja yang dimaksud adalah gereja dalam kapasitasnya sebagai organisasi.
[5] li·tur·gi n Kris 1 ibadat umum di gereja; 2 tata cara kebaktian (Kamus Besar Bahasa Indonesia; e-book portable).  Liturgi dalam bahasa Yunani “leitourgia;leitourgia”, leitourgia  berasal dari 2 kata yaitu ergon  yang artinya melayani atau bekerja, dan laos yang berarti bangsa, masyarakat, persekutuan umat. Kata laos dan ergon sebenarnya diambil dari kehidupan masyarakat Yunani Kuno yang menggunakan kata tersebut  sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan negara secara praktis, misalnya membayar pajak, membela negara dari ancaman musuh (wajib militer). Namun leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah [Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010)], 2-3. Lihat juga James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, terj. Liem Siem Kie dari judul asli Introduction to Christian Worship, cet. 2. (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 13-14. Liturgi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang demi manfaat orang lain. Liturgi dimaksudkan agar semua orang aktif dalam ibadah.
[6] John Handol ML, Nyanyian Lucifer (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002), 31.
[7] Handol, Nyanyian Lucifer, 94.
[8] Handol, Nyanyian Lucifer, 97.
[9] Lihat http://buletintaipei.blogspot.com/2011/05/liputan-seminar-peranan-musik-dalam.html. Gereja-gereja tidak lagi mengetahui peranan musik dalam ibadah ,- ada berbagai pemahaman yang kurang benar, baik itu terlalu menekankan musik dalam ibadah, ataupun justru mengabaikan musik dalam ibadah. Di dalam Gereja, tidak hanya pertentangan mengenai jenis musik yang dapat digunakan di dalam ibadah, tetapi juga mengarah kepada jenis nyanyian dalam gereja. Willy Purwosito M.A, dalam salah satu artikelnya menyatakan: “Persoalan pro dan Kontra Nyanyian Lama dan Nyanyian Baru wajar-wajar saja, asal tidak berkembang kepada sentimen. Masing-masing mempunyai selera dan persepsi yang berbeda. Majalah BERKAT Tahun XV / Nomor 58, edisi Januari-Maret 2003 (Surabaya: Yayasan Penerbit BERKAT), 15.
[10] Artikel O’Regan “The Church Triumphant: Music In The Liturgy” Tim Carter dan John Butt (ed.), The Cambridge History of Seventeenth Century Music (New York : Cambridge University Press, 2005), 283.
[11] Mazmur adalah salah satu contoh kitab yang menjadi referensi pentingnya pujian atau musik di dalam menyembah dan memuji Tuhan. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa tidak hanya Kolose 3:16 yang dapat dijadikan referensi ayat untuk menunjukkan pentingnya music dalam ibadah.
[12] Lihat Ester Gunawan Nasrani, “Peran Musik dalam Gereja”, [web page on-line] tersedia di http://www.gpdiworld.us/peran-musik-dalam-gereja, diakses 23 September 2011.

[13] Penting dalam hal ini memiliki arti musik tidak dapat diabaikan kegunaannya dalam liturgi gereja.
[14] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (e-book portable) iba·dat n 1 ibadah; 2 segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta; 3 upacara keagamaan; ber·i·ba·dat v menunaikan ibadat; per·i·ba·dat·an n 1 hal (cara dsb) beribadat; 2 tempat beribadat.
[15] [web page on-line] tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Musik, diakses tanggal 16 September 2011. Lihat juga Kamus Besar Bahasa Indonesia (e-book portable), mu·sik n 1 ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam  urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan; 2 nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu);
[16][web page on-line] tersedia di http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/computers/2165300-pengertian-musik/#ixzz1Rw2jxRKE, 26 Mei 2011, diakses 16 September 2011.
[17] Salomon Keal, “The Role of Music In Worship” 27 Desember 2010. [web page on-line] tersedia di http://theologikeal.blogspot.com/2010/12/role-of-music-in-worship.htm. Diakses 23 September 2011.
[18] Richard C. Leonard, “Music and Worship in The Bible”, [web page on-line] tersedia di http://www.laudemont.org/a-mawitb.htm, diakses 23 September 2011.
[19] Jane Stuart Smith dan Betty Carlson dalam buku mereka Karunia Musik (Surabaya: Momentum, 2003), membahas mengenai para komposer terkenal yang banyak menggubah kitab Mazmur menjadi nyanyian-nyanyian jemaat yang bertahan hingga sekarang.
[20] Jane Stuart Smith dan Betty Carlson, Karunia Musik (Surabaya: Momentum, 2003), 1-2. Lihat juga, Edy DH. Siahaan & R. Tambun, Musik Gereja (Medan: MITRA, 2006), 45.
[21] Smith & Carlson, Karunia Musik, 3.
[22] Edy DH. Siahaan & R. Tambun, Musik Gereja, 53. Lihat juga Smith & Carlson, Karunia Musik, 4. Paus Gregorius (memerintah tahun 590-604) membawa banyak pembaruan musik ke dalam gereja. Salah satu musik untuk menghormatinya adalah Gregorian Chant. Hanya suara pria yang diijinkan untuk menyanyikannya, kemudian penggunaan alat musik juga dikurangi.
[23] Salah satu hymne/kidung pujian reformasi yang agung karya Martin Luther adalah “A mighty fortress” merupakan frasa dari Mazmur 46. Smith & Carlson, Karunia Musik, 1.
[24] Leonard, “Music and Worship in The Bible”.

[25] Smith & Carlson, Karunia Musik, 1.
[26] Smith & Carlson, Karunia Musik, 5-6.
[27] li·ra  n alat musik Yunani Kuno dengan rangka berbentuk huruf U dan berdawai, dianggap sebagai pendahulu biola, dimainkan dengan berbagai cara, yakni diletakkan di bahu (da spalla), diletakkan di lengan (lira dabraccio), model yang lebih besar dengan  9—15 dawai yang diletakkan di antara lutut (da gamba), lira senor (lira iomperfetta), lira bas (lira perfecta). Kamus Besar Bahasa Indonesia v. 1.3 [versi elektronik].
[28] Steve Miller, The Contemporary Christian Music Debate (Illionis: Tyndale House Publishers, Inc., 1993), 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar