BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Gereja
adalah representatif kerajaan Allah di dalam dunia.[1] Oleh karena itu, gereja mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan tugasnya sebagai wakil Kerajaan Allah. Secara umum, tugas
dan kewajiban gereja adalah melayani Tuhan dan sesama.[2]
Pelayanan terhadap Tuhan dan sesama kemudian diimplementasikan ke dalam
berbagai aspek kehidupan. Implementasi tersebut dapat diklasifikasikan secara
spesifik, antara lain: “Liturgia,
Diakonia, Koinonia, Kerygma, dan Marturia”.[3] Tugas dan kewajiban tersebut dapat disebut
sebagai tujuan gereja sebagai wakil Kerajaan Allah. Gereja yang sehat adalah
gereja yang mampu menjalankan tugasnya dengan benar.
Kompleksitas
gereja dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di dalam dunia semakin
terlihat dengan terpecahnya kesatuan organisasi menjadi denominasi-denominasi
tertentu dengan organisasi-organisasi tersendiri.[4] Secara simultan gereja melakukan tugasnya
sebagai simbol atau wakil kerajaan Allah di dunia dan juga menjalankan tuntutan-tuntutan
denominasi sebagai bagian dari kompetisi antar denominasi. Kompetisi tersebut
menjadi bagian perjalanan gereja menuju kepada keutuhan dalam Yesus Kristus.
Ada
berbagai persoalan yang muncul ketika gereja dipahami sebagai organisasi atau
denominasi. Persaingan antar denominasi menjadi ajang perpecahan dan
pertarungan gereja yang semakin memprihatinkan. Perpecahan tersebut tidak hanya
terjadi antar denominasi, tetapi di dalam gereja (satu denominasi) sendiri. Orang-orang
percaya di dalam satu organisasi gereja terkungkung dengan kepentingan pribadi,
sehingga memperburuk kesatuan gereja yang telah lama tercabik-cabik. Perpecahan
antar anggota gereja banyak berakhir dengan munculnya denominasi gereja yang
baru. Hal tersebut menjadi fakta mengenai kesatuan gereja yang telah lama
terlupakan. Masing-masing denominasi memandang diri sebagai yang paling benar. Perpecahan
tersebut semakin kompleks ditambah dengan perbedaan doktrin antar denominasi. Perbedaan
doktrin tersebut merupakan salah satu dari penyebab perpecahan yang terjadi di
dalam kesatuan gereja secara universal.
Melihat
gereja sebagai sebuah kesatuan di dalam Kristus, maka perpecahan tersebut
seharusnya tidak mempengaruhi tugas dan kewajiban gereja di dalam dunia. Gereja
harus tetap mampu melakukan pelayanan berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Secara
khusus di dalam denominasi, setiap orang percaya harus tetap saling melayani
menuju kepada pertumbuhan iman yang sejati di dalam Kristus. Pelayanan tersebut
tentu berhubungan erat dengan relasi yang terjalin di dalam gereja. Relasi
tersebut mengarah kepada bentuk-bentuk peribadatan yang dilakukan di dalam
gereja. Bentuk-bentuk yang dimaksud adalah mengenai tata cara ibadah yang
dilakukan di dalam gereja tersebut. Dengan kata lain, pelayanan yang dilakukan
tersebut berhubungan erat dengan liturgi yang dilakukan di dalam gereja
tersebut.
Liturgi
atau tata cara ibadah[5]
tidak dapat dipisahkan dari peribadatan yang dilakukan di dalam gereja. Setiap
denominasi memiliki liturgi yang berbeda dalam ibadah. Namun secara umum
peribadatan tersebut memiliki unsur-unsur yang sama, misalnya
votum/pendahuluan, pembacaan firman, nyanyian jemaat. Salah satu hal yang
penting di dalam pelaksanaan liturgi adalah mengenai musik.
Secara
umum gereja telah menerima musik menjadi bagian penting dalam ibadah. Meskipun
demikian, musik yang diterima di dalam gereja sangat ditentukan oleh bentuk organisasi
(denominasi) dan juga oleh keterbukaan gereja terhadap perkembangan musik dalam
kebudayaan manusia. Hal tersebut memunculkan perdebatan baru mengenai bentuk
musik yang dapat atau tidak dapat diterima dalam gereja. Budayawan dan Pastor
Y.B. Mangunwijaya (alm.) dalam seminar musik gerejawi di Palangkaraya,
Kalimantan, Juni 1983, mempertanyakan apakah nyanyian religius Kristen harus
anggun tradisional dan terkesan lamban sekali, ataukah dapat berbentuk hard rock, atau ekstremnya boleh
berirama dangdut misalnya?[6]
Pertanyaan
mengenai jenis musik apakah yang dapat diterima di dalam gereja? Telah menjadi
pertanyaan yang digemakan sepanjang pergumulan gereja dalam menghadapi akselerasi perkembangan
musik. Beberapa gereja menganggap bahwa tidak semua jenis musik dapat digunakan
di dalam liturgi. Handol menyatakan, “musik yang digunakan dalam keagamaan harus
meningkatkan meditasi dan pemikiran rohani. Alunannya harus indah dan menarik,
tetapi tidak sentimentil. Melodi dan harmoninya harus kuat, efektif, memuaskan
tetapi tidak manis atau lemah”.[7]
Pernyataan Handol memberikan keterangan mengenai jenis musik yang secara umum dapat
diterima dalam liturgi yang dilaksanakan oleh gereja.
Sampai
pada zaman postmodern (sekarang), tidak semua jenis musik dapat diterima di
dalam liturgi. Salah satu jenis musik yang belum dapat diterima adalah musik
yang berirama keras. Mengutip pernyataan Handol mengenai musik keras,
menurutnya musik yang berirama keras merupakan musik yang berorientasi pada
pukulan beat, petikan khas gitar
listrik dengan suara besi terkikis dan irama vocal yang berteriak-teriak
(menjerit). Musik keras berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu rock yang berarti mengayunkan (keras
sampai membahayakan sesuatu) secara resmi dikenal pada awal tahun 60-an. Sejak
itu musik tersebut berkembang menjadi beberapa cabang musik baru seperti: Jazz-rock, rock’n roll, hard rock, pop rock,
heavy metal, dll.[8]
Di
lain sisi, ada yang beranggapan bahwa gereja seharusnya menerima dan
menggunakan kemajuan zaman, termasuk perkembangan teknologi dan secara khusus
adalah mengenai perkembangan dunia musik yang semakin hari semakin meningkat. Perkembangan
musik tersebut harus dimanifestasikan di dalam liturgi gereja. Dapat dikatakan
bahwa orang-orang yang berpandangan demikian menginginkan gereja dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan musik. Keinginan tersebut selaras dengan pemahaman
bahwa musik adalah elemen yang sangat penting di dalam ibadah. Kontradiksi[9]
antara pandangan yang menolak jenis musik tertentu dengan yang menerima musik
dan perkembangannya di dalam liturgi merupakan permasalahan yang akan dibahas
oleh penulis dalam paper ini.
HIPOTESIS
Musik
adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Hal tersebut
menjadikan musik sebagai suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia, termasuk kehidupan ibadah gereja. Dapat dikatakan bahwa
musik adalah hal yang sangat penting di dalam gereja. O’Regan menyatakan bahwa
: “In most denominations, music was recognized as powerful or somewhat
dangerous weapon, able to attract and sway men’s souls, and thus subject to
sometimes considerable ecclesiastical control.”[10]
Musik adalah penunjang kehidupan
penyembahan dan pujian di dalam gereja. Musik memberikan pengaruh terhadap
pujian dan penyembahan yang dilakukan di dalam gereja. Salah satu ayat[11]
Alkitab yang dapat menjadi acuan terhadap pentingnya musik di dalam kehidupan
gerejawi adalah ”Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di
antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang
akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur dan puji-pujian dan nyanyian
rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.” (Kolose 3 : 16)
Persekutuan adalah hal
mutlak yang harus dikerjakan oleh umat Tuhan yang tergabung di dalam suatu
lembaga yaitu gereja. Persekutuan yang dilakukan mengandung unsur-unsur
penting, sebagai contoh “saling membangun, menegur, mengajar satu dengan yang
lain”[12] Semua hal itu, menurut
Kolose 3:16 dilakukan sambil (dalam keadaan) menyanyikan mazmur dan puji-pujian
dan nyanyian rohani. Hal tersebut mengimplikasikan pentingnya nyanyian (yang
mengandung unsur musik) di dalam kehidupan persekutuan orang percaya. Oleh
karena itu, penulis memiliki hipotesis bahwa musik memiliki peranan yang
penting dalam pelayanan gereja, secara khusus musik dalam liturgi gereja.
PEMBATASAN MASALAH
Dalam
paper ini, penulis akan memfokuskan pembahasan terhadap pelayanan musik di
dalam peribadatan gereja. Pelayanan musik yang akan dijadikan pembahasan utama
adalah mengenai pentingnya musik terhadap kehidupan pelayanan dalam liturgi
gereja. Selain itu penulis akan membahas sekilas mengenai sejarah perkembangan
musik di dalam liturgi gereja. Dalam hal ini penulis tidak memiliki pemahaman
bahwa musik merupakan bagian keseluruhan di dalam liturgi, melainkan musik
merupakan bagian yang penting[13]
dari liturgi ibadah gereja. Pembahasan yang akan dilakukan oleh penulis akan
terfokus kepada hal-hal tersebut di atas.
BAB 2
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai perkembangan
musik dalam gereja dan persepsi- persepsi terhadap musik, secara khusus dalam ibadah-ibadah
gereja. Pujian dan nyanyian jemaat menjadi bagian penting dalam liturgi gereja.
Salah satu unsur penting di dalam nyanyian atau pujian adalah musik. Berikut
ini pembahasan penulis akan berkonsentrasi pada salah satu unsur penting tersebut.
PENGERTIAN MUSIK
Musik umumnya dapat ditemukan di
sepanjang peradaban manusia. Musik adalah pemberian Tuhan yang sangat indah. Pemberian
tersebut tidak hanya diterima oleh orang percaya, melainkan juga dapat diterima
bahkan dikembangkan oleh orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Perkembangan
musik di dalam gereja dan di luar gereja memiliki perbedaan yang sangat jauh. Di
luar gereja, musik dapat berkembang dengan pesat karena tidak dibatasi oleh
peraturan-peraturan Gereja.
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia (ensiklopedia
bebas), musik diartikan sebagai :
bunyi
yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi,
budaya dan selera seseorang. Definisi sejati tentang musik juga bermacam-macam:
a. Bunyi/kesan
terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indera pendengar
b.Suatu
karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya.
c. Segala
bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan
sebagai musik.[15]
Berdasarkan definisi di atas, dapat
dikatakan bahwa musik adalah bentuk bunyi yang ditangkap oleh manusia lewat
pendengaran. Penerimaan terhadap bentuk bunyi yang dihasilkan dengan sengaja
tersebut memiliki perbedaan. Perbedaan penerimaan itu disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu perbedaan sejarah, perbedaan lokasi, dan perbedaan kebudayaan. Musik
juga dapat dikategorikan sebagai bentuk seni yang diperkenalkan melalui medium
suara. Unsur-unsur
umum dalam musik adalah pitch (yang
mengatur melodi dan harmoni), irama
(dan terkait konsep tempo, meter, dan artikulasi), dinamika, dan kualitas sonik dari timbre dan tekstur. Kata
musik berasal dari bahasa Yunani μουσική (mousike),
"(seni) dari Muses."[16]
Musik
juga memberikan pengaruh terhadap sikap dan tindakan manusia. Salomon Keal
menyatakan : Music is
something which can help to inspire the affections that help those 'feathers'
of truth stick to the 'wall' of our mind.[17]
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Richard C. Leonard dalam artikelnya Music and Worship in the Bible, ia
menyatakan:
Music
has a powerful effect on human experience. Students of religious phenomena have
long recognized that music transcends our understanding and appeals to our
intuitive nature. It is not surprising, then, that music played an important
part in the worship of biblical communities, as a way of approaching the
mystery of God and of expressing the joy of his presence.[18]
Keal dan Leonard menyadari kekuatan
musik dalam pengalaman manusia. Leonard dalam pernyataannya di atas,
mengungkapkan bahwa musik merupakan bagian penting yang dipakai dalam pujian
oleh komunitas orang percaya (Biblical= percaya
kepada Firman Tuhan). Musik digunakan sebagai cara untuk memahami (menemukan)
misteri Ilahi dan musik dapat dikategorikan sebagai ungkapan sukacita atas perjumpaan
dengan Tuhan di dalam pujian (ibadah). Pernyataan di atas tidak mengindikasikan
bahwa penulis menyetujui musik sebagai satu-satunya ungkapan sukacita terhadap perjumpaan
dengan Tuhan, tetapi yang penulis maksudkan adalah ekspresi melalui musik
adalah salah satu bentuk ungkapan sukacita atas perjumpaan dengan Tuhan dalam
ibadah.
Sepanjang sejarah perjalanan gereja
dapat dijumpai penggunaan musik yang cukup signifikan dalam liturgi. Meskipun
tidak dapat dipungkiri bahwa ada masa ketika gereja Katolik Roma menghindari
penggunaan musik di dalam liturgi gereja. Berikut ini penulis akan membahas
mengenai sejarah perkembangan musik dalam gereja.
PERKEMBANGAN MUSIK DALAM GEREJA
Perkembangan
musik dalam gereja (liturgi) sangat labil. Ada masa ketika gereja memberikan
kesempatan penuh kepada para komposer-komposer terkenal[19]
untuk mengembangkan musik dalam gereja. Para komposer tersebut kemudian
menggubah banyak hymne atau nyanyian
dari Alkitab, secara khusus kitab Mazmur. Namun, ada masa ketika gereja tidak
lagi mengijinkan musik untuk dikembangkan di dalam gereja. Penulis akan
membahas sekilas mengenai sejarah perkembangan musik dalam gereja. Selanjutnya
perkembangan musik dalam gereja akan disebut sebagai sejarah musik gerejawi,
karena fokus pembahasan penulis adalah perkembangan musik yang terjadi di dalam
gereja.
Sejarah
Musik Gerejawi
Pada
mulanya dalam gereja hanya lagu-lagu Mazmur yang dinyanyikan, akan tetapi
kemudian hal itu berkembang menjadi sebuah buku nyanyian. Smith dan Carlson menyatakan, menyanyikan
Mazmur adalah aktifitas musik dari gereja yang paling awal dicatat, mungkin itu
adalah respon rasul Paulus agar “penuh dengan roh dan berkata-kata seorang
kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani” (Efesus
5:19).[20]
Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dinyanyikan dalam jemaat atau gereja
adalah nyanyian yang terdapat dalam kitab Mazmur? Nyanyian yang dilagukan di
dalam gereja memang tidak semua berasal dari kitab Mazmur. Akan tetapi
mayoritas lagu jemaat diciptakan berdasarkan inspirasi kitab Mazmur.
Melihat
sejarah perkembangan musik dalam gereja, Smith dan Carlson menyatakan,
Menelusuri perkembangan musik,
dimulai dari Ambrose uskup dari Milan (339-397). Ia memperkenalkan nyanyian antiforal dan hymne
pada dunia barat. Ambrocian Chant masih
dinyanyikan di Milan hingga sekarang. Kemudian Augustinus (354-430),menurut tradisi,
ia bersama dengan Ambrose menciptakan improvisasi lagu “Te Deum Laudamus” (We Praise Thee, o Lord).[21]
Pernyataan Smith dan Carlson bukan berupakan sebuah
klaim bahwa musik gerejawi dimulai pada zaman Ambrose dan Augustinus. Musik
gerejawi berkembang jauh sebelum diperkenalkannya nyanyian-nyanyian hasil
improvisasi mereka. Edy Siahaan dan R. Tambun dalam buku “Musik Gereja” memberikan keterangan yang lebih spesifik mengenai
perkembangan musik gerejawi. Mereka menerangkan sejarah perkembangan nyanyian mulai
dari abad pertama sampai sesudah reformasi. Edy dan R. Tambun menyatakan,
(1).
Pada abad pertama, Ignatius (+ 115) memulihkan pemakaian responsoria
antara pelayan dan jemaat dan atau antara anggota-anggota paduan suara.
Sylvester (325) mendirikan sekolah penyanyi (Scholoe Contorum) gerejawi pertama
di Roma. Selanjutnya hymnus terus
berkembang di sebelah timur, dan dari sana dibawa masuk oleh Hilarius dari
Poitiers ke sebelah barat. Hymnus tersebut dikenal di sana dengan Hymnodia/hymnus Ambrosius. Ia sangat
berjasa dalam bidang hymnus karena banyak memasukkannya dalam ibadah. Ia juga
mengintensifkan pemakaian antifon dan
responsoria. (2). Abad Pertengahan,
Paus Gregorius I (+ 600) memasukkan cara menyanyi Gregorian ke dalam
ibadah jemaat. Setelah itu kaisar Karel Agung sangat berjasa dalam usaha
memajukan nyanyian jemaat. Ia mendirikan sekolah musik (Scholoe Contorum) di seluruh kekaisarannya. (3). Abad sebelum
reformasi, nyanyian jemaat tidak lagi dinyanyikan secara langsung oleh jemaat
sendiri, melainkan diserahkan kepada paduan suara yang anggota-anggotanya
adalah para imam. (4). Pada masa reformasi, Dr. Martin Luther dan Johannes
Calvin membersihkan nyanyian jemaan dari pengaruh Katolik Roma. Nyanyian sepenuhnya
diserahkan kepada jemaat untuk dinyanyikan. Luther sendiri banyak menggubah
nyanyian jemaat (sebagian besar masih dipakai di gereja-gereja Indonesia sampai
sekarang). (5). Sesudah reformasi, tema-tema nyanyian mulai diperhatikan.
Banyak nyanyian-nyanyian yang akhirnya disusun mengandung unsur kerygma (berita). [22]
Sejak abad pertama hingga abad
pertengahan (zaman reformasi gereja[23]),
musik gerejawi telah mengalami perkembangan yang signifikan. Hal tersebut
terlihat dari perkembangan nyanyian jemaat dalam gereja. Sekolah-sekolah musik
gereja didirikan dan berkembang menghasilkan generasi penerus musik/ nyanyian
dalam gereja. Leonard menuliskan lebih jauh ke belakang mengenai sejarah
perkembangan musik yang terdapat di dalam peribadatan orang Israel. Ia
menyatakan,
Israelite
prophets were musicians. During the exodus Miriam the prophetess, taking her
tambourine, led the women in song and dance, celebrating the Lord's triumph
over the Egyptians (Exod. 15:20-21). Saul encountered a band of sanctuary
prophets who prophesied accompanied by instruments (1 Sam. 10:5). Isaiah
composed songs, including one celebrating the Lord's deliverance of those who
trust in him (Isa. 26:1-6). The public regarded Ezekiel as "one who has a
beautiful voice and plays well on an instrument" (33:32).
David,
a musician as well as a warrior, established the place of music in the worship
of the Lord. Even before the sacrifices had been moved to Jerusalem, he
instructed the Levitical musicians to celebrate the ark's journey to Zion (1
Chron. 15:16-24), and appointed Asaph as chief musician in charge of continual
thanksgiving and praise (1 Chron. 16:1-7). The description of this activity (1
Chron. 25:1-7) suggests that these musicians led in a spontaneous and
overwhelming outpouring of worship, especially at high moments like the
dedication of Solomon's temple (2 Chron 5:11-14). This may be the "new
song" to which the Psalms refer (33:3, 40:3, 96:1, 144:9, 149:1). Many
Psalms perhaps originated in this pre-temple Davidic worship centering around
the ark of the covenant.
In
the temple, music functioned as a "sacrifice of praise," an offering
of song to accompany the offering of sacrifice. Under the Judean rulers, the
performance of music became regulated and standardized. The titles of 55 Psalms
refer to the music director, with instructions for performance on various
instruments or using certain tunes. This psalmody remained a feature of
Israelite and Jewish worship. After the exile, Ezra recruited more than 200
Levites for service in the sanctuary (Ezra 8:18-20). First-century Jewish
sources indicate that the choir of Herod's temple consisted of at least twelve
adult male singers, with no upper limit. Singers served between the ages of
thirty and fifty, after a five-year training period. The sources also describe
the instruments in use at that time.
After
the Babylonian exile, most Jews lived in the Dispersion (areas outside of
Palestine) and could not participate in temple worship. Therefore the synagogue
arose for prayer and the study of the Scriptures. The Psalms continued to be
sung, and other portions of the Scriptures as well as prayers were chanted
according to a developing system of "modes." Such Jewish music
influenced the worship of the early church.
Israelite
worship music was both vocal and instrumental; the sanctuary orchestra
contributed to the celebration of Israel's covenant with the Lord. Its
instruments fall into the same general classes with which we are
familiar — percussion, winds (pipes) and strings. Horns, trumpets,
cymbals, harps and lyres were used when the ark was brought to Mount Zion, and
their continued use is reflected in their mention in the Psalms. The sanctuary
instruments were not solo instruments, but sounded simultaneously to call the
assembly to worship (Psa. 98:6). Strings and pipes, if used, probably played
the modalities (tune elements) in the psalm being sung, with perhaps
distinctive patterns of ornamentation. Horns, trumpets and cymbals added to the
festive joy by creating a larger sound. The selah of the Psalms may have
been an instrumental interlude, or a "lifting up" of sound by both
singers and instrumentalists. Tambourines, usually played by women, are
mentioned in connection with dancing at Israelite festivals (Psa. 68:25), but
were not used in the sanctuary where only men served as priests and musicians.
What
did the music of Israel's worship sound like? While we cannot know today
exactly how it sounded, recent research has confirmed the similarity between
Hebraic music and ancient forms of Christian chant. Biblical music incorporated
several characteristic features:
a.
Monophony,
the use of an unharmonized melodic line — although ornamentation and
instrumental accompaniment could create a primitive form of harmony.
b.
Modality
refers to the use of various musical motifs within a certain scale, each with
its own function.
c.
Ornamentation,
the use of enhancements suited to the skill of the performer.
d.
Rhythm —
Semitic music does not use the regular beat of modern Western music but has a
more complex pattern of time structuring.
e.
Scale —
Semitic music follows a generally diatonic melody, but with some use of
quarter-tone intervals as well as whole or half tones.
f.
Improvisation,
the practice of composing the music in the process of performing it using
skills acquired through a long period of training.
g.
Antiphony —
In antiphonal music, groups of performers answer one another in statement and
response. Examples in biblical worship may be found in the Psalms (Pss. 24,
118) and the "Holy, holy, holy" of Isaiah's seraphim (Isa. 6:3), in a
vision no doubt influenced in its expression by the chanting of priestly
choirs. This last feature suggests that the congregation, as well as trained
musicians, may have been involved in the musical responses of the service.
[24]
Para nabi atau nabiah Israel merupakan musisi.
Sebagai contoh ketika bangsa Israel berhasil lepas dari cengkraman bangsa
Mesir, Miriam kemudian menyanyikan lagu kemenangan dengan memakai alat musik tambourine (Kel. 15:20-2). Raja Daud adalah
seorang musisi sekaligus seorang pahlawan. Pemakaian alat musik sangat dominan
dalam ibadah yang dilakukan di Israel. Secara khusus ketika mereka mengalami
suatu kemanangan dari sebuah pertempuran, mengalami kebebasan dari malapetaka,
bersukacita atas pertolongan Tuhan. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi inspirasi
terhadap penulis Mazmur untuk menuliskan nyanyian-nyanyian kepada Tuhan.
Kitab Mazmur menjadi inspirasi utama dalam berkembangnya
musik gerejawi. Smith dan Carlson menyebutnya sebagai satu-satunya sumber yang
paling produktif untuk teks bagi komponis musik di dunia barat.[25]
Beberapa komponis besar yang mendasarkan karya besarnya pada teks Mazmur
menurut Smith dan Carlson antara
lain :
(1). Heinrich Schutz (1583-1672),
komponis terbesar Jerman pada abad ke-17. Salah satu tokoh yang terpenting di zaman
Barok, zaman yang mencapai puncaknya dengan karya terkenal Bach dan Handel.
Schutz menulis musik dengan menempatkan Mazmur dalam karya-karyanya. (2). Johan
Sebastian Bach (1685-1750) dianggap sebagai komponis terbesar sepanjang masa
oleh banyak orang Kristen dan para kritikus sekuler. Ia mengabdikan hidupnya
melayani Allah melalui musik. Cantata 131
merupakan gubahan dari Mazmur 130 sebagai gambaran penyesalan yang mengharukan.
(3). Frans Joseph Haydn (1732-1809) menulis karya besarnya “The Creation” setelah diilhami Messiah karya Handel. Salah satu puncak
dalam karyanya adalah “The Heaven Are
Telling” yang diambil dari Mazmur 19. (4) Wolfrgarg Amadeus Mozart
(1756-1791) membuat aransemen menakjubkan dari Mazmur terpendek (Mazmur 117).
(5). Komponis Yahudi Kristen pada zaman Romantik awal, Felix Madellshon
(1809-1847) menggubah banyak Mazmur untuk musik. Salah satunya adalah “Lift Thine Eyes to The Mountains” dari
Mazmur 121.[26]
Mazmur tidak hanya menginspirasi Bapa-bapa gereja untuk
menciptakan hymne, tetapi juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
karya-karya musik klasik yang terkenal hingga sekarang. Karya komposer terbesar
seperti Bach, Mozart dan Haydn sebagian besar merupakan gubahan dari kitab
Mazmur.
Beberapa pernyataan di atas merepresentatifkan sejarah
perkembangan musik dalam gereja. Kitab suci merupakan inspirasi utama bagi
komposer-komposer besar dan bapa-bapa gereja untuk menggubah musik gereja. Berikut
akan dibahas mengenai esensi musik dalam ibadah.
ESENSI
MUSIK DALAM IBADAH
Musik
memiliki peranan yang penting dalam ibadah. Ini merupakan pernyataan yang telah
diulang oleh penulis dalam paper ini. Penulis ingin menekankan bahwa ibadah dan
musik memiliki keterikatan yang tidak dapat dipungkiri.
Keterikatan tersebut
seharusnya tidak ditafsirkan secara ekstrim. Musik memang bermanfaat dan
penting dalam ibadah, akan tetapi musik tidak dapat dijadikan “berhala” dalam ibadah. Istilah “berhala” digunakan penulis untuk
menyatakan “beberapa orang tidak dapat beribadah dan menyanyikan pujian kepada
Tuhan tanpa musik”. Ini adalah pandangan yang keliru. Menganggap musik sebagai
penunjang utama dalam ibadah adalah pandangan yang sangat keliru. Ibadah
seharusnya dapat tetap berlangsung dengan hikmat sekalipun tanpa musik.
Pernyataan “ibadah seharusnya dapat berlangsung dengan
hikmat sekalipun tanpa musik” bukan pernyataan yang mengingkari pentingnya
musik dalam ibadah. Pernyataan tersebut merupakan “perlawanan” terhadap paradigma yang menganggap bahwa tanpa musik
ibadah tidak dapat berlangsung dengan baik. Pandangan penulis sangat
bertentangan dengan paradigma tersebut.
Dalam ibadah seharusnya
musik hanya merupakan “instrumen”.
Instrumen yang dimaksud penulis adalah “alat”.
Musik adalah alat atau sarana yang Tuhan anugerahkan bagi manusia untuk
menyembah-Nya. Dengan demikian esensi musik dalam ibadah adalah “sarana” bukan
“segalanya”. Pernyataan ini tidak dapat ditafsirkan menjadi “musik tidak
penting dalam ibadah”. Musik sangat penting dalam ibadah, tetapi hanya sebagai
sarana.
PERSEPSI GEREJA TERHADAP MUSIK
Gereja (atau orang
percaya yang berada dalam gereja) dalam sepanjang perjalanan sejarah, memiliki
persepsi terhadap musik. Persepsi tersebut berbeda antara orang yang satu
dengan yang lainnya. Dalam bagian ini penulis akan membagi dua pandangan
tersebut menjadi dua bagian yaitu pandangan yang menerima perkembangan musik
dan pandangan yang menolak jenis musik tertentu dalam ibadah atau liturgi.
Menerima Perkembangan
Musik
Pandangan ini dianut
oleh orang-orang yang sangat terbuka terhadap perkembangan musik. Mereka
menggunakan berbagai jenis instrumen (jenis alat-alat musik) dalam gereja.
Mereka sangat terbuka terhadap perkembangan musik yang sangat pesat. Hal ini
memang tidak salah karena dalam Perjanjian Lama, ada banyak instrumen yang
digunakan dalam Bait Allah. Steve Miller menuliskan beberapa alat musik yang
digunakan dalam ibadah, antara lain: Harps
(Rev. 5:8), stringed instruments (Hab. 3:19), horns, trumpets, loud-sounding
cymbals, lyres[27] (1 Chron. 15:28,29),
timbels, taumborines (Exod. 15:20), dll.[28]
Menerima perkembangan
musik bukanlah hal yan keliru. Akan tetapi yang salah adalah ketika penerimaan
itu sangat berlebihan. Penulis dalam hal ini tidak setuju dengan pandangan yang
sangat ekstrim dalam penerimaan terhadap perkembagan musik. Oleh karena itu
penulis menyatakan bahwa musik dalam liturgi seharusnya tetap berpegang pada
prinsip “Scriptura”. Semua penerimaan itu haruslah didasarkan pada
kebenarang firman Tuhan. Alkitab memang tidak mengatur mengenai jenis musik
atau instrumen yang digunakan dalam ibadah, akan tetapi penerimaan tersebut
seharusnya melihat kebenaran Alkitabiah.
Menolak Jenis Musik
Tertentu dalam Liturgi
Beberapa orang melakukan penolakan terhadap jenis
musik terntentu. Jenis musik yang sering ditolak dalam gereja adalah jenis
musik yang “beraliran” keras, seperti musik Rock,
Heavy-metal. Mereka berpandangan bahwa musik ini adalah musik setan. John
Handol ML dalam bukunya Nyanyian Lucifer menyatakan hal yang
demikian. Ia kemudian memberikan argumentasi bahwa musik-musik keras adalah
sarana yang digunakan oleh iblis untuk menjauhkan manusia dari hadirat Allah.
Dalam
buku Nyanyian
Lucifer, Handol juga melanjutkan argumentasinya bahwa musik sangat mempengaruhi
kejiwaan manusia. Penulis setuju dengan pandangan tersebut. Akn tetapi penulis
tidak sepaham dengan pandangan Handol yang menyatakan bahwa musik keras
merupakan musik setan. Sebagai orang percaya seharusnya menyadari bahwa semua
hal yang terjadi dalam dunia berada di bawah kontrol Tuhan. Kontrol dalam hal
ini tidak berarti dunia adalah “robot”
yang dikendalikan sepenuhnya oleh Tuhan.
Penulis
tidak menentang gereja yang menolak jenis musik tertentu. Namun, penulis tidak
setuju dengan gereja yang memberikan “punishment”
terhadap jenis musik tertentu. Mereka menyatakan bahwa musik keras adalah musik
“setan”. Jika musik tersebut dapat digunakan oleh Iblis sebagai sarana untuk
mempengaruhi anak muda menjadi “brutal”, maka musik tersebut juga dapat
digunakan untuk memuji Tuhan. Pernyataan ini sangat rasional, jika sesuatu
dapat digunakan Iblis, maka hal tersebut juga dapat digunakan oleh Tuhan. Bukan
berarti bahwa musik keras itu tidak dapat digunakan untuk memuji Tuhan.
Gereja
harus terbuka terhadap perkembangan musik. Ini adalah pandangan penulis. Sekali
lagi penulis menyatakan bahwa penerimaan tersebut memang harus selalu ditinjau
dari sudut pandang Alkitab. Pemakaian musik juga seharusnya proporsional dalam
gereja. Dengan demikian penolakan terhadap jenis musik tertentu harus
didasarkan pada Alkitab. Selain itu penerimaan itu harus didasarkan pada
“konsensus” atau kesepakatan bersama dalam gereja.
Bab 3
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan dalam dua bab di atas, maka penulis memiliki kesimpulan sebagai
berikut:
Musik
adalah Karunia Tuhan
Musik
adalah karunia Tuhan, oleh karena itu tidak ada musik yang dapat dikategorikan
sebagai musik “setan”. Semua karunia Tuhan yang diberikan kepada manusia adalah
baik adanya. Oleh karena itu bukan musik tersebut yang seharusnya disalahkan,
akan tetapi musik tersebut yang sering disalahgunakan. Jadi pengguna musiklah
yang salah, bukan jenis musiknya.
Musik
sebagai Sarana
Liturgi disusun untuk
memberikan jalur dalam ibadah. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa dalam
liturgi musik hanya sebagai sarana, bukan penentu ibadah. Ada atau tidak adanya
musik dalam ibadah seharusnya tidak mempengaruhi ibadah. Dalam hal ini penulis
menyatakan bahwa sekalipun tidak ada musik dalam ibadah, maka ibadah tersebut
harus tetap berjalan dengan baik. Ibadah harus tetap pada tujuan utama yaitu
memuliakan Tuhan. Ibadah yang bertujuan untuk melakukan perjumpaan dan hubungan
dengan Tuhan.
Musik sebagai sarana
seharusnya dipahami memiliki peranan yang tidak dapat dianggap sepele dalam
Ibadah. Musik memberikan nuansa yang berbeda dalam ibadah. Oleh karena itu
musik penting akan tetapi harus dipahami bahwa musik bukan segalanya, musik
hanyalah sarana untuk memuji Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Handol, John ML, Nyanyian Lucifer.Yogyakarta:
Yayasan ANDI, 2002
Miller, Steve, The Contemporary Christian Music Debate. Illionis:
Tyndale House Publishers, Inc., 1993.
O’Regan
“The Church Triumphant: Music In The Liturgy” Tim Carter dan John Butt (ed.), The Cambridge History of Seventeenth Century
Music. New
York : Cambridge University Press, 2005
Siahaan, Edy DH. & R. Tambun, Musik Gereja. Medan:
MITRA, 2006.
Smith, Jane Stuart dan Betty Carlson, Karunia Musik. Surabaya: Momentum, 2003
Rachman, Rasid,
Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi.
Jakarta:
Gunung Mulia, 2010
White,
James F., Pengantar Ibadah Kristen, terj.
Liem Siem Kie dari judul asli Introduction
to Christian Worship, cet. 2. Jakarta: Gunung Mulia, 2005.
Sumber-sumber
lain:
Kamus Besar Bahasa Indonesia v. 1.3 [versi elektronik].
Materi
Kuliah Dogmatika 4 STTSP, mengenai Tujuan
Gereja, Jumat, 12 Agustus 2011
Keal, Salomon, “The Role of Music In Worship” 27 Desember
2010. [web page on-line]
tersedia di http://theologikeal.blogspot.com/2010/12/role-of-music-in-worship.htm
Leonard,
Richard C.,
“Music and Worship in The Bible”, [web page on-line] tersedia di
http://www.laudemont.org/a-mawitb.htm.
Nasrani, Ester Gunawan, “Peran
Musik dalam Gereja”, [web page on-line] tersedia di
http://www.gpdiworld.us/peran-musik-dalam-gereja,
diakses 23 September 2011.
Purwosito, Willy M.A, “Persoalan pro dan
Kontra Nyanyian Lama dan Nyanyian Baru”.
Majalah BERKAT Tahun XV / Nomor 58, edisi
Januari-Maret 2003.
Surabaya:
Yayasan Penerbit BERKAT
http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/computers/2165300-pengertian-musik/#ixzz1Rw2jxRKE,
26 Mei 2011.
[1] Dalam hal tersebut penulis
menyoroti kapasitas gereja yang universal, yaitu orang-orang percaya yang
berada dalam sebuah lingkup kesatuan dengan tidak membedakan denominasi yang
ada di dalam dunia.
[2] Sesama adalah orang-orang yang
telah menjadi anggota gereja dan juga orang-orang yang belum percaya kepada
Tuhan. Namun, dalam pengertian sesama tersebut, penulis lebih fokus kepada
orang-orang yang telah percaya kepada Tuhan Yesus sekaligus telah menjadi
anggota gereja di denominasi tertentu.
[3] Liturgia, melayani Tuhan melalui liturgi atau tata cara yang telah
ditetapkan oleh gereja berdasarkan denominasi. Diakonia, pelayanan gereja terhadap sesama orang percaya dengan
tujuan untuk bertumbuh sesuai dengan kepenuhan Kristus dan menjadi dewasa di
dalam Tuhan. Koinonia, pelayanan di
dalam perskutuan untuk saling mendorong dalam kasih dan perbuatan baik. Kerygma, pelayanan dalam bentuk pengajaran firman
Tuhan. Marturia, pelayanan gereja
terhadap sesama manusia yaitu orang-orang yang belum percaya melalui kesaksian.
(Materi Kuliah Dogmatika 4
STTSP, mengenai Tujuan Gereja, Jumat, 12 Agustus 2011).
[4] Gereja yang dimaksud adalah
gereja dalam kapasitasnya sebagai organisasi.
[5] li·tur·gi n Kris 1 ibadat umum di gereja; 2 tata cara kebaktian (Kamus Besar
Bahasa Indonesia; e-book portable).
Liturgi dalam bahasa Yunani “leitourgia;leitourgia”,
leitourgia berasal dari 2 kata yaitu ergon yang artinya melayani
atau bekerja, dan laos yang berarti bangsa, masyarakat,
persekutuan umat. Kata laos dan ergon sebenarnya diambil dari kehidupan
masyarakat Yunani Kuno yang menggunakan kata tersebut sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan
negara secara praktis, misalnya membayar pajak, membela negara dari ancaman
musuh (wajib militer). Namun leitourgia juga
digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah [Rasid
Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah
Liturgi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010)], 2-3. Lihat juga James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, terj. Liem
Siem Kie dari judul asli Introduction to
Christian Worship, cet. 2. (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 13-14. Liturgi
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang demi manfaat orang lain.
Liturgi dimaksudkan agar semua orang aktif dalam ibadah.
[6] John Handol ML, Nyanyian Lucifer (Yogyakarta: Yayasan
ANDI, 2002), 31.
[7] Handol, Nyanyian Lucifer, 94.
[8] Handol, Nyanyian Lucifer, 97.
[9] Lihat http://buletintaipei.blogspot.com/2011/05/liputan-seminar-peranan-musik-dalam.html.
Gereja-gereja tidak lagi mengetahui peranan musik dalam ibadah ,- ada berbagai
pemahaman yang kurang benar, baik itu terlalu menekankan musik dalam ibadah,
ataupun justru mengabaikan musik dalam ibadah. Di dalam Gereja, tidak hanya
pertentangan mengenai jenis musik yang dapat digunakan di dalam ibadah, tetapi
juga mengarah kepada jenis nyanyian dalam gereja. Willy Purwosito M.A, dalam
salah satu artikelnya menyatakan: “Persoalan pro dan Kontra Nyanyian Lama dan
Nyanyian Baru wajar-wajar saja, asal tidak berkembang kepada sentimen.
Masing-masing mempunyai selera dan persepsi yang berbeda. Majalah BERKAT Tahun XV / Nomor 58, edisi Januari-Maret 2003 (Surabaya:
Yayasan Penerbit BERKAT), 15.
[10] Artikel O’Regan “The Church
Triumphant: Music In The Liturgy” Tim Carter dan John Butt (ed.), The Cambridge History of Seventeenth Century
Music (New York : Cambridge University Press, 2005), 283.
[11] Mazmur adalah salah satu contoh
kitab yang menjadi referensi pentingnya pujian atau musik di dalam menyembah
dan memuji Tuhan. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa tidak hanya Kolose
3:16 yang dapat dijadikan referensi ayat untuk menunjukkan pentingnya music
dalam ibadah.
[12] Lihat Ester Gunawan Nasrani, “Peran Musik dalam Gereja”, [web page
on-line] tersedia di
http://www.gpdiworld.us/peran-musik-dalam-gereja,
diakses 23 September 2011.
[13] Penting dalam hal ini memiliki
arti “musik
tidak dapat diabaikan kegunaannya dalam liturgi gereja”.
[14] Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (e-book portable) iba·dat
n 1 ibadah; 2 segala usaha lahir dan batin sesuai
dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup,
baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta; 3 upacara keagamaan; ber·i·ba·dat v menunaikan
ibadat; per·i·ba·dat·an n
1 hal (cara dsb) beribadat; 2 tempat beribadat.
[15] [web
page on-line] tersedia di
http://id.wikipedia.org/wiki/Musik,
diakses tanggal 16 September 2011. Lihat juga Kamus Besar Bahasa Indonesia
(e-book portable), mu·sik
n 1 ilmu atau seni menyusun nada atau
suara dalam urutan, kombinasi, dan
hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan
dan kesinambungan; 2 nada atau
suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan
keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan
bunyi-bunyi itu);
[16][web page on-line] tersedia di http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/computers/2165300-pengertian-musik/#ixzz1Rw2jxRKE,
26 Mei 2011, diakses 16 September 2011.
[17] Salomon Keal,
“The Role of Music In Worship” 27 Desember 2010. [web page on-line] tersedia di http://theologikeal.blogspot.com/2010/12/role-of-music-in-worship.htm.
Diakses 23 September 2011.
[18] Richard C.
Leonard, “Music and Worship in The Bible”, [web page on-line] tersedia di http://www.laudemont.org/a-mawitb.htm,
diakses 23 September 2011.
[19] Jane Stuart Smith dan Betty
Carlson dalam buku mereka Karunia Musik
(Surabaya: Momentum, 2003), membahas mengenai para komposer terkenal yang
banyak menggubah kitab Mazmur menjadi nyanyian-nyanyian jemaat yang bertahan
hingga sekarang.
[20] Jane Stuart Smith dan Betty
Carlson, Karunia Musik (Surabaya: Momentum, 2003), 1-2.
Lihat juga, Edy DH. Siahaan & R. Tambun, Musik Gereja (Medan: MITRA, 2006), 45.
[22] Edy DH. Siahaan & R. Tambun,
Musik Gereja, 53. Lihat juga Smith
& Carlson, Karunia Musik,
4. Paus Gregorius (memerintah tahun 590-604) membawa banyak pembaruan musik ke
dalam gereja. Salah satu musik untuk menghormatinya adalah Gregorian Chant. Hanya suara pria yang diijinkan untuk
menyanyikannya, kemudian penggunaan alat musik juga dikurangi.
[23] Salah satu hymne/kidung pujian
reformasi yang agung karya Martin Luther adalah “A mighty fortress” merupakan frasa dari Mazmur 46. Smith &
Carlson, Karunia
Musik,
1.
[24] Leonard, “Music
and Worship in The Bible”.
[27] li·ra n alat musik Yunani Kuno dengan rangka berbentuk huruf U dan berdawai, dianggap sebagai pendahulu biola, dimainkan dengan berbagai cara, yakni diletakkan di bahu (da spalla),
diletakkan di lengan (lira dabraccio), model yang lebih besar dengan 9—15 dawai yang diletakkan di
antara lutut (da gamba), lira senor (lira iomperfetta), lira bas
(lira perfecta). Kamus Besar Bahasa Indonesia v. 1.3 [versi elektronik].
[28] Steve
Miller, The Contemporary Christian Music
Debate (Illionis: Tyndale House Publishers, Inc., 1993), 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar